Jumat, 07 Oktober 2011

paper 2 Shift Paradigm

Paper 2

Shift paradigm

Nama : Muhammad Ilham Utama 
Npm : 24111871
Kelas : 1KB01

Fakultas Ilmu Komputer dan Teknologi Informasi
Universitas Gunadarma
2011



Definisi Paradigma

Definisi paradigma. paradigma adalah suatu asumsi-asumsi dasar dan asumsi-asumsi teoritis yang umum yang merupakan suatu sumber nilai. Konsekuensinya hal itu merupakan suatu sumber hukum-hukum, metode, serta penerapan dalam ilmu pengetahuan sehingga sangat menentukan sifat, ciri serta karakter ilmu pengetahuan itu sendiri.
Istilah ilmiah tersebut kemudian berkembang dalam berbagai bidang kehidupan manusia serta ilmu pengetahuan lain, misalnya politik, hukum, ekonomi dan budaya serta bidang-bidang lainnya. Dalam masalah yang popular ini istilah “paradigm” berkembang menjadi suatu terminology yang mengandung konotasi pengertian sumber nilai, kerangka pikir, orientasi dasar, sumber asas arah dan tujuan dari suatu perkembangan, perubahan serta proses dalam suatu bidang tertentu.


Pengertian Paradigma
Oleh : Ridwan Fendy
Paradigma adalah istilah sebuah pandangan ilmiah dalam pemikiran filsuf ilmu Thomas Kuhn. Dia mendefinisikan Paradigma sebagai “Praktek yang mendefinisikan disiplin ilmiah pada beberapa poin dalam waktu.” Paradigma dalam pemikiran Thomas Kuhn adalah sesuatu yang berdasar budaya dan deskrit. Seorang ilmuan pengobatan Cina, dengan ilmu yang mendalam mengenai pengobatan timur, akan memiliki pandangan pemikiran yang berbeda daripada pemikiran seorang peneliti dari barat. Fungsi dari Paradigma menyediakan puzzle bagi para ilmuan. Paradigma sekaligus menyediakan alat untuk solusinya. Ilmu digambarkan oleh Thomas Kuhn sebagai sebuah kegiatan menyelesaikan puzzle.
Thomas Kuhn pertamakali menggunakannya dalam sains, menunjukkan bahwa penelitian ilmiah tidak menuju ke kebenaran. Penelitian ilmiah sangat tergantung pada dogma dan terikat pada teori yang lama. Dalam pemikiran Kuhn paradigma secara tidak langsung mempengaruhi proses ilmiah dalam empat cara dasar.
  1. Apa yang harus dipelajari dan diteliti
  2. Pertanyaan yang harus ditanyakan
  3. Struktur sebenarnya dan sifat dasar dari pertanyaan itu
  4. Bagaimana hasil dari riset apapun diinterpretasikan.
Kuhn mempercayai bahwa ilmu pengetahuan memiliki periode pengumpulan data dalam sebuah paradigma. Revolusi kemudian terjadi setelah sebuah paradigma menjadi dewasa. Paradigma mampu mengatasi anomali. Beberapa anomali masih dapat diatasi dalam sebuah paradigma. Namun demikian ketika banyak anomali anomali yang mengganggu yang mengancam matrik disiplin maka paradigma tidak bisa dipertahankan lagi. Ketika sebuah paradigma tidak bisa dipertahankan maka para ilmuan bisa berpindah ke paradigma baru.
Paradigma pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Khun, seorang ahli fisika teoritik, dalam bukunya “The Struktur Of Scientific Revolution”, yang dipopulerkan oleh Robert Friederichs (The Sociologi Of Sociology;1970), Lodhal dan Cardon (1972), Effrat (1972), dan Philips (1973). Sementara Khun sendiri, seperti ditulis Ritzer (1980) tidak mendefinisikan secara jelas pengertian paradigma. Bahkan menggunakan kata paradigma dalam 21 konteks yang berbeda. Namun dari 21 pengertian tersebut oleh Masterman diklasifikasikan dalam tiga pengertian paradigma. 1. Paradigma metafisik yang mengacu pada sesuatu yang menjadi pusat kajian ilmuwan. 2. Paradigma Sosiologi yang mengacu pada suatu kebiasaan sosial masyarakat atau penemuan teori yang diterima secara umum. 3. Paradigma Konstrak sebagai sesuatu yang mendasari bangunan konsep dalam lingkup tertentu, misalnya paradigma pembangunan, paradigma pergerakan dll. Masterman sendiri merumuskan paradigma sebagai “pandangan mendasar dari suatu ilmu yang menjadi pokok persoalan yang dipelajari (a fundamental image a dicipline has of its subject matter).sedangkan George Ritzer mengartikan paradigma sebagai apa yang harus dipelajari, persoalan-persoalan apa yang mesti dipelajari, bagaimana seharusnya menjawabnya, serta seperangkat aturan tafsir sosial dalam menjawab persoalan-persoalan tersebut. Maka, jika dirumuskan secara sederhana sesungguhnya paradigma adalah “How to see the Word” semacam kaca mata untuk melihat, memaknai, menafsirkan masyarakat atau realitas sosial. Tafsir sosial ini kemudian menurunkan respon sosial yang memandu arahan pergerakan.
Apakah yang disebut Teori kritis ?
Apa sebenarnya makna “Kritis”? Menurut kamus ilmiah populer, kritis adalah Tajam/tegas dan teliti dalam menanggapi atau memberikan penilaian secara mendalam. Sehingga teori kritis adalah teori yang berusaha melakukan analisa secara tajam dan teliti terhadap realitas. Secara historis, berbicara tentang teori kritis tidak bisa lepas dari Madzhab Frankfurt. Dengan kata lain, teori kritis merupakan produk dari institute penelitian sosial, Universitas Frankfurt Jerman yang digawangi oleh kalangan neo-marxis Jerman. Teori Kritis menjadi disputasi publik di kalangan filsafat sosial dan sosiologi pada tahun 1961. Konfrontasi intelektual yang cukup terkenal adalah perdebatan epistemologi sosial antara Adorno (kubu Sekolah Frankfurt – paradigma kritis) dengan Karl Popper (kubu Sekolah Wina – paradigma neo positivisme/neo kantian). Konfrontasi berlanjut antara Hans Albert (kubu Popper) dengan Jürgen Habermas (kubu Adorno). Perdebatan ini memacu debat positivisme dalam sosiologi Jerman. Habermas adalah tokoh yang berhasil mengintegrasikan metode analitis ke dalam pemikiran dialektis Teori Kritis.
Teori kritis adalah anak cabang pemikiran marxis dan sekaligus cabang marxisme yang paling jauh meninggalkan Karl Marx (Frankfurter Schule). Cara dan ciri pemikiran aliran Frankfurt disebut ciri teori kritik masyarakat “eine Kritische Theorie der Gesselschaft”. Teori ini mau mencoba memperbaharui dan merekonstruksi teori yang membebaskan manusia dari manipulasi teknokrasi modern. Ciri khas dari teori kritik masyarakat adalah bahwa teori tersebut bertitik tolak dari inspirasi pemikiran sosial Karl Marx, tapi juga sekaligus melampaui bangunan ideologis marxisme bahkan meninggalkan beberapa tema pokok Marx dan menghadapi masalah masyarakat industri maju secara baru dan kreatif. Beberapa tokoh Teori Kritis angkatan pertama adalah Max Horkheimer, Theodor Wiesengrund Adorno (musikus, ahli sastra, psikolog dan filsuf), Friedrich Pollock (ekonom), Erich Fromm (ahli psikoanalisa Freud), Karl Wittfogel (sinolog), Leo Lowenthal (sosiolog), Walter Benjamin (kritikus sastra), Herbert Marcuse (murid Heidegger yang mencoba menggabungkan fenomenologi dan marxisme, yang juga selanjutnya Marcuse menjadi “nabi” gerakan (New Left di Amerika).Pada intinya madzhab Frankfurt tidak puas atas teori Negara Marxian yang terlalu bertendensi determinisme ekonomi.
Determinisme ekonomi berasumsi bahwa perubahan akan terjadi apabila masalah ekonomi sudah stabil. Jadi basic strurtur (ekonomi) sangat menentukan supras truktur (politik, sosial, budaya, pendidikan dan seluruh dimensi kehidupan manusia). Kemudian mereka mengembangkan kritik terhadap masyarakat dan berbagai sistem pengetahuan. Teori kritis tidak hanya menumpukkan analisisnya pada struktur sosial, tapi teori kritis juga memberikan perhatian pada kebudayaan masyarakat (culture society). Seluruh program teori kritis Madzhab Frankfurt dapat dikembalikan pada sebuah manifesto yang ditulis di dalam Zeischrift tahun 1957 oleh Horkheimer. Dalam artikel tentang “Teori Tradisional dan teori Kritik” (Traditionelle und KritischeTheorie) ini, konsep “Teori kritis” pertama kalinya muncul. Tokoh utama teori kritis ini adalah Max Horkheimer (1895-1973), Theodor Wiesengrund Adorno (1903-1969) dan Herbert Marcuse (1898-1979) yang kemudian dilanjutkan oleh Generasi kedua mazhab Frankfurt yaitu Jurgen Habermas yang terkenal dengan teori komunikasinya. Diungkapkan Goerge Ritzer, secara ringkas teori kritis berfungsi untuk mengkritisi Teori Marxian yang deterministic yang menumpukan semua persoalan pada bidang ekonomi Positivisme dalam Sosiologi yang mencangkok metode sains eksak dalam wilayah sosial-humaniora katakanlah kritik epistimologi. Teori- teori sosiologi yang kebanyakan hanya memperpanjang status quo. Kritik terhadap masyarakat modern yang terjebal pada irrasionalitas, nalar teknologis,nalar instrumental yang gagal membebaskan manusia dari dominasi Kritik kebudayaan yang dianggap hanya menghancurkan otentisitas kemanusiaan. Madzhab Frankfrut mengkarakterisasikan berpikir kritis dengan empat hal :
1. Berpikir dalam totalitas (dialektis);
2. Berpikir empiris-historis;
3. Berpikir dalam kesatuan teori dan praksis;
4. Berpikir dalam realitas yang tengah dan terus bekerja (working reality).
Mereka mengembangkan apa yang disebut dengan kritik ideology atau kritik dominasi. Sasaran kritik ini bukan hanya pada struktur sosial namun juga pada ideologi dominan dalam masyarakat. Teori Kritis berangkat dari 4 (empat sumber) kritik yang dikonseptualisasikan oleh Immanuel Kant, Hegel, Karl Marx dan Sigmund Freu

Ketika berada pada periode pengumpulan data maka ilmu pengetahuan mengalami apa yang dikatakan perkembangan ilmu biasa. Dalam perkembangan ilmu biasa sebuah ilmu pengetahuan mengalami perkembangan. Ketika Paradigma mengalami pergeseran maka itu disebut masa revolusioner. Ilmu dalam tahap biasa bisa dikatakan sebagai pengumpulan yang semakin banyak dari solusi Puzzle. Sedangkan pada tahap revolusi ilmiah terdapat revisi dari kepercayaan ilmiah atau praktek
Filsafat ilmu sebaiknya berguru pada sejarah ilmu yang baru. Katanya, Popper yang sudah disebut di atas, membalikkan kenyataan dengan terlebih dulu menguraikan terjadinya ilmu empiris melalui jalan hipotesa yang disusul upaya falsifikasi.
Padahal perubahan-perubahan mendalam selama sejarah ilmu justru tidak pernah terjadi berdasarkan upaya empiris untuk membuktikan salah satu teori atau system, melainkan terjadi melalui revolusi-revolusi ilmiah. Kemajuan ilmiah adalah bersifat revolusioner, dan tidak seperti anggapan sebelumnya, yaitu bersifat kumulatif, dengan kata lain evolusioner. Mengapa tidak disadari bahwa kemajuan itu bersifat revolusioner? Oleh karena hanya terasa revolusioner bagi mereka yang terkena dampaknya, atau lebih baik, mereka yang paradigmanya terkena dampak dari perubahan revolusioner ini. “Paradigma” menjadi konsep sentral dalam pemikiran Kuhn. Ilmu yang sudah matang dikuasai oleh sebuah paradigma tunggal. Tetapi salah satu masalah dalam tesis Kuhn adalah pemahaman mengenai pengertian paradigma itu sendiri, yang ternyata tidak begitu jelas. Di satu pihak, Kuhn mengatakan bahwa “paradigma” yang ia maksudkan tidak sama dengan “model” atau “pola” melainkan lebih daripada itu. Tetapi kemudian dalam penerapan teori Kuhn ke bidang-bidang di luar sains, istilah “model”, “pola” dan “tipe” kerap dicampurkan saja dengan “paradigma”. Di dalam postscript, Kuhn mengakui bahwa ia menggunakan istilah “paradigma” dalam dua arti, pertama sebagai keseluruhan konstelasi kepercayaan, nilai, teknik, dan sebagainya yang dimiliki bersama oleh anggota komunitas ilmiah tertentu dan kedua, sejenis unsur dalam konstelasi itu, pemecahan teka-teki yang kongkret, yang jika digunakan sebagai model atau contoh, dapat menggantikan kaidah-kaidah yang eksplisit sebagai dasar bagi pemecahan teka-teki sains yang normal, yang masih tersisa. Menurut Kuhn, kedua makna ini bisa dipakai, namun yang lebih mendalam secara filsafati adalah yang kedua. 
Paradigma tunggal ini membimbing kegiatan ilmiah dalam masa ilmu normal (normal science). Yang dimaksudkan dengan ilmu normal adalah penelitian yang dengan teguh berdasar atas satu atau lebih pencapaian ilmiah, pencapaian yang oleh masyarakat ilmiah tertentu diakui pada suatu kurun waktu tertentu sebagai menyediakan dasar atau fondasi bagi praktik selanjutnya. Para ilmuwan berkesempatan menjabarkan dan mengembangkan paradigma ini secara rinci dan mendalam, karena tidak sibuk dengan hal-hal mendasar. Karena paradigma diterima, maka dengan sendirinya para ilmuwan tidak bersikap kritis terhadap paradigma tersebut.


Karena paradigma itulah yang membimbing aktivitas ilmiahnya. Namun selama menjalankan penelitiannya, para ilmuwan bisa menemukan berbagai kejanggalan berupa ketidaksesuaian teori dengan fenomena. Kejanggalan atau “anomali” ini justru merupakan sebuah petunjuk yang penting mengenai perkembangan ilmu.
Jika anomali semakin menumpuk dan kualitasnya semakin meninggi, maka timbullah krisis. Dalam krisis ini orang mulai mempertanyakan paradigma. Pada waktu itu ilmuwan tidak lagi melakukan ilmu normal. Ia diperhadapkan pada pemilihan apakah akan kembali kepada cara-cara ilmiah yang lama, atau berpindah pada sebuah paradigma baru yang memecahkan masalahnya dan dengan demikian merupakan tandingan terhadap paradigma lama. Jika ia memilih yang terakhir, maka terjadilah sebuah revolusi ilmiah, oleh karena di antara paradigma baru dan paradigma lama tidak ada benang merah logika atau rasionalitas, dalam arti keduanya tidak bisa disesuaikan. Paradigma lama ditinggalkan bukan karena atau kurang ilmiah dibandingkan yang baru, tetapi karena dianggap tidak sesuai lagi untuk memecahkan masalah. Istilah yang dipakai oleh Kuhn untuk menyebut ketidakrasionalan ini adalah “incommensurable” atau “incommensurability”. Tetapi Kuhn menambahkan bahwa kebanyakan ilmuwan memilih untuk bertahan dalam ilmu normal dan mengikuti paradigma yang lama, oleh karena mengikuti paradigma yang baru membawa dampak yang berat bagi studi dan kegiatan mereka. Perubahan yang bersifat paradigmatik selalu bersifat revolusioner, dan efeknya sama seperti sebuah perubahan perspektip atau orientasi. Berbicara mengenai perspektip dan orientasi tidak dapat tidak menyebabkan orang berpikir mengenai “worldview”. Perubahan yang bersifat paradigmatik bisa mencakup perubahan worldview. Kuhn tidak menyangkal bahwa pemahamannya mengenai perubahan paradigma sains dipengaruhi oleh perkembangan di bidang psikologi Gestalt. “What were ducks in the scientist’s world before the revolution are rabbits afterwards”. Van Peursen di dalam bukunya mengenai filsafat ilmu memuat 3 gambar mengenai perubahan menurut psikologi tersebut, tetapi saya hanya mengambil satu yaitu gambar bebek-kelinci yang sesuai dengan statement Kuhn di atas. Gambar ini berasal dari filsuf Austria-Inggris Wittgenstein dan Wittgensteinpun mengambilnya dari Jastrow sang psikolog.
Di dalam banyak catatan-catatan pakar sains dijumpai pergumulan hebat dalam menghadapi anomali dan kenyataan paradigma baru. Einstein yang dapat disebut pembangun paradigma baru merasa “as if the ground had been pulled out from under one, with no firm foundation to be seen anywhere, upon which one could have been built”.
Setelah menyadari dampak dari mereka yang kemudian memperkembangkan teori kuantum terhadap teologi, terutama mengenai Yang Ilahi,
maka Einstein tidak ragu-ragu untuk memberi pernyataan teologis termasyhur yang bertentangan sendiri dengan posisi baru yang bersifat indeterministik, di mana seharusnya dia berdiri : “The Old Man (maksudnya Tuhan) does not play dice with the universe”. Apabila Kuhn mengatakan bahwa kebanyakan ilmuwan bertahan dalam paradigma lama, maka bukanlah maksudnya untuk menilai negatip sikap tersebut.
Kegiatan-kegiatan tradisional dari sebuah ilmu normal justru merupakan inti kegiatan ilmiah. Perlawanan seumur hidup terhadap paradigma baru dari mereka yang sudah terikat dengan paradigma lama bukanlah merupakan pelanggaran standar-standar ilmiah, melainkan justru index dari hakikat riset ilmiah itu sendiri. Perubahan paradigma mendatangi/menyatakan diri kepada ilmuwan dan bukannya bahwa ilmuwan itu secara sengaja berusaha menciptakan perubahan paradigma. Meskipun menurut Kuhn, apa yang dikemukakan oleh Max Planck di atas (di bawah judul artikel ini) ada benarnya, ia lebih suka membayangkan bahwa perpindahan kesetiaan dari sebuah paradigma lama ke paradigma baru terjadi kurang lebih sebagai pengalaman pertobatan. Bertobat berarti berubah perspektip dan orientasi, tetapi tidak berarti yang sebelumnya itu salah atau tidak benar. Hal itu menandakan bahwa ada kesejajaran di antara inter-aksi di dalam bidang sains dengan bidang agama-teologi. Sikap ilmuwan dan agamawan-teolog seringkali sama saja. Bukan hanya pada yang terakhir saja kita melihat perdebatan-perdebatan yang tidak kunjung habis, tetapi juga di bidang sains. Di kedua dunia, perdebatan baru selesai (atau tidak selesai?) apabila terjadi perpindahan paradigma. Susahnya dalam pengertian populer, istilah “revolusi” dan “pertobatan” mengandung makna etis : yang dulu salah atau jelek, makanya pindah ke yang baru, yang benar dan baik. Asal kita maklum saja bahwa Kuhn menggunakan kedua istilah tersebut tidak dalam pengertian populer. 
Demikianlah jalannya perkembangan ilmu. Di dalam bukunya Kuhn memberikan contoh-contoh dari sains bagaimana revolusi di bidang sains terjadi. Revolusi-revolusi ini semuanya terjadi sesudah pertengahan abad 19, oleh karena sebelumnya tidak ada komunitas kaum ilmuwan. Sebelum itu ada berbagai paradigma yang berseliweran. Baru sesudah komunitas ilmuwan terbentuk, orang terbiasa bekerja dalam ilmu normal di bawah payung paradigma tunggal. Sebagai awam di bidang sains tentu sulit sekali bagi saya untuk mengikuti uraiannya.
Tetapi yang dapat saya tangkap adalah bahwa perkembangan ini tidak hanya terjadi dalam hal besar-besar saja, seperti perubahan pemahaman mengenai pusat alam semesta dari worldview Ptolemaian ke worldview Kopernikan-Galileian, atau dari worldview Newtonian ke worldview Einsteinian, tetapi juga dalam sejarah perkembangan fenomena listrik, oksigen dan lain-lain, yang merupakan “revolusi-revolusi kecil”. Yang masih tersisa adalah persoalan apakah tidak terdapat kemungkinan bahwa di dalam sains bisa terdapat dua paradigma, bahkan di dalam satu orang ilmuwan bisa terdapat dua paradigma? Di dalam prakata, Kuhn mengakui bahwa uraiannya mengenai pra dan pasca-paradigma di dalam perkembangan ilmu dibuat terlalu ketat.
Bisa terjadi kemungkinan, meskipun jarang, bahwa dua paradigma yang saling berkompetisi dapat hidup berdampingan secara damai. Tetapi hal ini tentunya berdampak pada pengertian dia mengenai “revolusi”. Maka kadang-kadang dia berbicara mengenai “paradigm change” (“perubahan paradigma”), tetapi kadang-kadang juga mengenai “paradigm shift” (“pergeseran paradigma”).
Hans Küng yang kemudian menerapkan teori Kuhn ke bidang teologi memanfaatkan ketidakkonsekwenan Kuhn ini dengan mengartikan “paradigm change” sebagai sebuah proses yang berjalan secara revolusioner, tetapi tidak pernah terjadi sebuah “total break”. Bagi dia, “paradigm change” tidak berarti “paradigm switch” (“pertukaran/pergantian paradigma”). Lepas dari ketidakkonsekwenan ini Kuhn telah berjasa besar mendekatkan sains dengan ilmu-ilmu lainnya, sebagai sama-sama terikat pada ruang dan waktu. Saya menutup uraian mengenai Kuhn dengan mengutip kesan Clifford Geertz, ilmuwan sosial terkemuka dari USA, ketika mengenang kematian Kuhn “What remains as Kuhn’s legacy, is his passionate insistence that the history of science is the history of the directed growth and replacement of self-recruiting, normatively defined, variously directed, and often sharply competitive scientific communities”. “Structure opened the door to the eruption of the sociology of knowledge into the study of those sciences about as wide as it could be opened”.

Kesimpulan
    Paradigma secara sederhana dapat diartikan sebagai kerangka piker untuk melihat suatu permasalahan. Pengertian paradigma berkembang dari definisi paradigma pengetahuan yang dikembangkan oleh Thomas Kuhn dalam rangka menjelaskan cara kerja dan mengembangkan ilmu pengetahuan khususnya ilmu-ilmu alam. Paradigma pengetahuan merupakan perspektif intelektual yang dalam kondisi normal memberikan pedoman kerja terhadap ilmuwan yang membentuk ‘masyarakat ilmiah’ dalam disiplin tertentu. Robert Winslow menambahkan pengertian paradigma ilmiah sebagai gambaran intelektual yang daripadanya dapat ditentukan suatu subjek kajian. Perspektif intelektual inilah yang kemudian akan membentuk ilmu pengetahuan normal (normal science) yang mendasari pembentukan kerangka teoritis terhadap kajian-kajian ilmiah.
Paradigma itulah kata yang bermakna sama dan sering kita jumpai dalam keseharian. Setiap hari kita tentu memiliki banyak paradigma atau pandangan terhadap sesuatu maupun orang dalam dunia ini. Tergambar jelas dari bagaimana sebuah respon yang kita berikan . Begitu banyaknya sikap dan perilaku yang ditampilkan untuk mengkondisikan kehidupan duniawi yang syarat dengan kompleksitas. Contoh sederhana ketika kita mendapatkan informasi dari teman tentang seseorang, perilaku atasan kepada bawahan di kantor, penampilan orang lain, kebiasaan yang dilakukan orang lain, dan masih banyak lagi stimulus orang lain yang seringkali merefleksikan sikap dan perilaku kita terhadap kondisi tersebut. Baik atau buruknya  sebuah respon yang kita berikan bergantung bagaimana persepsi yang berada di otak kepala.
Pahamilah paradigma dan karakter adalah dua sisi yang saling mengikat satu sama lain . Apa yang kita lihat sangat berkaitan dengan siapa kita . Menjadi berarti melihat dalam dimensi kemanusiaan. Dan kita tidak bisa mengubah dapat mengubah cara pandang kita tanpa sekaligus mengubah keberadaan kita, dan sebaliknya. Paradigma kita adalah sumber dari mana sikap dan perilaku kita mengalir. Paradigma sama seperti kacamata, dia mempengaruhi cara kita melihat segala sesuatu dalam hidup kita. Bila kita melihat sesuatu melalui paradigma prinsip yang benar, apa yang kita lihat dalam hidup akan berbeda secara dramatis dengan apa yang kita lihat melalui paradigma dengan pusat yang lain.
Sementara kita mengembangkan paradigma yang memberdaya kita untuk melihat melalui lensa kepentingan ketimbang kegentingannya, kita akan meningkatkan kemampuan kita untuk mengorganisasi dan melaksanakan setiap minggu dari hidup kita di sekitar prioritas kita yang lain, untuk menjalani apa yang kita katakan. Kita tidak akan bergantung pada orang lain atau benda apa pun untuk manajemen yang efektif atas hidup kita.
Perubahan paradigma mengubah kita ke arah yang positif atau negatif, entah bersifat spontan atau bertahap, perubahan paradigma menggerakan dari satu cara melihat dunia ke cara yang lain.
Dan perubahan paradigma tersebut menghasilkan perubahan yang kuat. Paradigma kita, benar atau salah, adalah sumber dari sikap dari perilaku kita, dan akhirnya sumbe dari segala hubungan kita dengan orang lain.
           Meskipun terlihat terlalu bernuansa akademis, sebenarnya paradigma tidak menjadi bahan kaji atau dominasi para kaum intelektual untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, paradigma juga mungkin diterapkan pada ranah-ranah kehidupan sosial yang lain. Sebenarnya Kuhn mendapatkan gagasannya mengenai paradigma tersebut dari dunia sejarah dan sastra yang kemudian diterapkannya ke dalam domain ilmu-ilmu alam yang pada waktu itu dianggap sebagai satu-satunya ilmu pengetahuan yang bersifat ilmiah. Sedangkan cabang ilmu pengetahuan yang sekarang telah dianggap sebagai ilmu, dulunya hanya dianggap sebagai seni saja misalnya sejarah, sastra, dan politik.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar